Selasa, 29 Mac 2011

Ilmu Faraaid/Warisan : Kuliah Asas Siri 2

0 ulasan
Subject: Ilmu Faraid/Warisan : Kuliah 2

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم و رحمة الله و بركاته

Segala puji bagi Allah Swt. Salawat dan Salaam ke atas junjungan besar Nabi Muhammad Saw, Sejahtera ke atas para ahlul bait, sahabatNya, tabi'in, tabi'ut tabi'in, para syuhada dan salafus soleh.

Saya nukilkan sambungan artikel terdahulu, untuk rujukan dan manfaat bersama. Saya ada mendapat panggilan dari beberapa rakan yang bertanya lanjut mengenai hal faraid, tentu sekali tentang pembahagian pusaka. Ada juga yang memohon saya adakan semula kuliah berkenaan hal ini. InsyaAllah, boleh dipertimbangkan sekiranya ada kesempatan. Setakat ini saya sedang tumpukan kuliah dalam hal lain. Berkenaan soalan faraid itu boleh dikemukakan ke email saya. Akan saya beri maklumbalas apabila ada kesempatan.

Kewajiban Menjalankan Ilmu Faraaid
Di dalam Surah An Nisa’ (4), ayat 11 dan 12, Allah Swt. telah menjelaskan hukum-hukum warisan dengan terang dan jelas. Seterusnya dalam surah yang sama, Allah Swt. telah berfirman memberi peringatan :

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar”.
Surah An-Nisa' (4) : ayat 13.

“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan".
Surah An-Nisa' (4) : ayat 14.

Dalam membahagi harta pusaka, diwajibkan kepada kita membahaginya secara adil berdasarkan syariat Islam yang telah disampaikan melalui Al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya. Allah Swt. menjanjikan syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai kepada para hamba-Nya, yang tunduk ikhlas dalam menjalankan ketentuan pembahagian harta pusaka ini. Dia juga mengancam hamba-Nya yang menyalahi batasan-batasan yang telah ditentukan, baik dengan menambahkan, mengurangi, maupun menghalang ahli waris yang benar-benar berhak mewarisi dan memberikan bahagian kepada orang yang tidak berhak mewarisinya, dengan ancaman neraka dan siksa yang menghinakan.

Sumber Hukum Pembahagian Dari Al-Qur’an
Sumber hukum utama untuk perhitungan dan tatacara pembahagian harta pusaka mengikut waris waris dari Al-Qur’an terdapat pada tiga ayat dalam surah An Nisa’ (4) yaitu ayat 11, 12 dan 176. Ayat-ayat inilah yang disebut sebagai ayat-ayat waris. Jika ingin cepat dalam mempelajari dan memahami ilmu faraid, adalah dianjurkan agar kita menghafal dahulu ayat-ayat ini, paling kurang terjemahannya dan lebih utama dengan teks arabnya, karena sumber hukum utama pembahagian waris berdasarkan ketetapan-ketetapan yang terdapat dalam ayat-ayat ini. Ayat-ayat waris ini adalah sebagai berikut :

"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembahagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh seperdua (dari) harta (yang ditinggalkannya). Dan untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembahagian-pembahagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Surah An Nisa’ (4) : ayat 11.

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperlapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik lelaki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara lelaki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun".
Surah An Nisa’ (4) : ayat 12.

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang lelaki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara lelaki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara lelaki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Surah An Nisa’ (4) : ayat 176.

Penjelasan Ayat-Ayat Waris
Setelah membaca ayat-ayat waris diatas, maka didapati terdapat lima hukum bahagian waris yang sudah ditetapkan Allah Swt. secara jelas di dalam Al Qur’an ul Jamiil, dengan kondisi-kondisinya yang mungkin terjadi seperti telah dinyatakan, yaitu:

A. Hukum bahagian waris untuk anak (lelaki dan perempuan)
B. Hukum bahagian waris untuk orang tua (ayah dan ibu)
C. Hukum bahagian waris untuk suami atau isteri
D. Hukum bahagian waris untuk saudara seibu lain ayah
E. Hukum bahagian waris untuk saudara sekandung atau seayah

Dalam erti kata lain, 5 pihak yang dinyatakan itu, merupakan waris utama yang pasti tentu berhak mewarisi harta pusaka setelah beberapa kriteria yang ditetapkan dipenuhi.

Asbabun Nuzul Ayat-Ayat Waris (Sebab-Sebab Turunnya)
Banyak riwayat yang mengisahkan tentang asbabun nuzul atau sebab musabab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rh. dan Imam Muslim rh. berikut :-

`Suatu ketika, isteri Sa'ad bin ar-Rabi' rha. datang menghadap Rasulullah Saw. dengan membawa kedua orang puterinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua puteri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang Uhud. Tetapi bapa saudara kedua puteri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya, sedang keduanya itu tidak dapat menikah kecuali dengan harta" Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, "Semoga Allah segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu surah An Nisa' ayat 11. Rasulullah Saw. kemudian mengutus seseorang kepada bapa saudara kedua puteri Sa'ad itu dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua pertiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua puteri itu. Sedangkan ibu mereka (isteri Sa'ad) mendapat bahagian seperlapan, dan bakinya menjadi bahagian saudara sekandung Sa'ad (bapa saudara kedua puteri Sa’ad).

Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam At Thabari rh. dikisahkan bahawa Abdurrahman bin Tsabit rhu. wafat dan meninggalkan seorang isteri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (isteri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi Saw., maka turunlah ayat waris sebagai jawaban persoalan itu.

Juga di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rh. disebutkan,
“Jabir bin Abdullah rhu. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. mengunjunginya ketika ia sakit dan tidak sadarkan diri. Lalu orang-orang menuangkan bekas-bekas air wudhu beliau kepadanya sehingga sedar. Kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah! yang akan mewarisi saya hanyalah kalalah.” Maka, turunlah ayat tentang waris (hukum kalalah), yakni surah An-Nisaa’ ayat 176.”

Demikianlah sedikit contoh berlakunya sebab-sebab turunnya ayat hukum waris yang menjelaskan kisah yang berlaku sehingga turunnya ayat-ayat waris yang menyelesaikan masalah warisan tersebut secara adil kepada semua pihak yang berhak.

Definisi Waris
Makna Secara Bahasa - "al Miras" atau "irsan" secara bahasa bermaksud perpindahan sesuatu daripada seseorang kepada seorang lain atau dari satu kaum ke satu kaum lain. "Mawaris" bermaksud mewariskan, yang membawa makna seseorang memindahkan hartanya kepada kaum keluarganya. Makna kata "al Miras" dalam takrifan bahasa ini tidak hanya tertakluk kepada harta sahaja tetapi, boleh juga ia berbentuk ilmu pengetahuan, status kedudukan, kemuliaan dan status kehidupan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw. berikut :

"sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan wang dinar dan tidak pula wang darham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mewarisinya (ilmu pengetahuan), maka dia telah mendapat keuntungan yang sempurna”.
Hadis riwayat imam Ibnu Majah rh. dan imam Ibnu Hibban rh.

Makna Secara Syara' - "al Miras" atau "irsan" adalah perpindahan hakmilik harta dari pewaris (simati) kepada warisnya yang masih hidup, meliputi harta alih, harta tak alih atau hak-hak lain yang ditetapkan syara'.

Kategori dan Bentuk Waris
1.            Ashabul Furudh – iaitu pewaris (Tahap 1) yang telah ditetapkan oleh Al Qur’an secara jelas. Dalam membahagikan harta pusaka, mereka ini adalah yang dibahagikan terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa para Ashabul Furudh akan mendapatkan harta waris secara fardh (fardhu, wajib), yakni mendapatkan bahagian waris secara tetap sebagaimana yang ditetapkan di dalam Al Qur’an secara jelas. Bahagian yang telah ditentukan Al-Qur’an untuk Ashabul Furudh ini ada enam macam, yaitu:

a. Setengah (1/2)       b. Satu per empat (1/4)   c. Satu per lapan (1/8)
d. Dua per tiga (2/3)   e. Satu per tiga (1/3)       f.  Satu per enam (1/6)

2.            Asabah – iaitu pewaris lain (Tahap 2) yang akan mendapat lebihan harta pusaka setelah pembahagian dibuat kepada Ashabul Furudh. Apabila berlaku kekurangan kepada Ashabul Furudh, bahagian itu boleh diambil oleh Asabah. Namun, jika tidak ada satu pun Ashabul Furudh, maka Asabah ini akan mendapatkan seluruh harta pusaka itu.

3.            Dzawil Arham - Arham adalah bentuk kata jamak dari kata rahmun/rahim, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti “tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut Ibu”. Kemudian dikembangkan menjadi 'kaum kerabat', dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafaz rahim tersebut umum digunakan dengan makna “kaum kerabat”, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.

Adapun yang dimaksud dengan Dzawil Arham disini adalah setiap kaum kerabat (Tahap 3) yang ada ikatan rahim dengan simati  tidak termasuk Ashabul Furudh dan Asabah, misalnya ibu saudara (saudara perempuan ayah atau ibu), bapa saudara dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), anak saudara lelaki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, nenek dari sebelah ibu dan sebagainya.

3 bentuk waris ini adalah tetap. Dari segi kaedah pembahagian, waris Ashabul Furudh mesti diberikan terlebih dahulu kemudian diikuti dengan waris Asabah seterusnya waris Dzawil Arham. Pembahagian pula mengikut perhitungan hak masing-masing seperti yang telah ditetapkan.

4.            Hak Waris Secara Tambahan - yaitu suatu keadaan dimana harta pusaka yang telah dibahagikan kepada semua Ashabul Furudh masih juga berbaki, sedangkan tidak ada ahli waris Asabah, maka sisanya diberikan kepada Ashabul Furudh sesuai dengan bahagian yang telah ditentukan, kecuali untuk suami atau isteri. Hak waris secara tambahan ini disebut juga Ar Radd.

Adapun suami atau isteri tidak berhak menerima tambahan bahagian dari baki harta yang ada. Ini disebabkan, hak waris bagi suami atau isteri berlaku kerana adanya ikatan pernikahan, sedangkan atas sebab-sebab kekerabatan (nasab) adalah lebih utama bagi mendapatkan tambahan. Kecuali, bila pewaris (simati) tidak mempunyai ahli waris dikalangan Ashabul Furudh dan Asabah bahkan juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim (dzawil arham), maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau isteri.

Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, baik dari kalangan Ashabul Furudh, Asabah maupun Dzawil Arham, maka isteri mendapat bahagian seperempat dari harta pusaka yang ditinggalkannya, sedangkan bakinya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, para isteri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan isteri.

Kelompok Ahli Waris
Kaedah pembahagian harta pusaka dijalankan mengikut keutamaan kelompok. Terdapat empat kelompok ahli waris yaitu :

Kelompok Ashabul Furudh - yaitu kelompok ahli waris yang pertama sekali diberi bahagian harta pusaka. Mereka adalah orang-orang yang telah ditentukan bahagiannya dalam Al Qur’an dan as Sunnah secara tetap. Mereka berjumlah 7 orang yaitu :
1.  Ibu    2.  Saudara lelaki seibu   3.  Saudara perempuan seibu   4.   Nenek dari ayah
5.  Nenek dari ibu   6.  Suami   7.  Isteri

Kelompok Asabah - yaitu kelompok ahli waris yang menerima baki harta pusaka setelah dibahagikan kepada Ashabul Furudh. Bahkan, jika ternyata tidak ada Ashabul Furudh serta ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta pusaka yang ada. Begitu juga, jika harta pusaka yang ada sudah habis dibagikan kepada Ashabul Furudh, maka merekapun tidak mendapat bahagian.

Mereka berjumlah 12 orang, yaitu 10 dari kerabat yang merupakan kerabat pewaris berdasarkan silsilah keluarga dari garis laki-laki (nasab) dan 2 lagi dari luar kerabat, yaitu kerana ia yang telah memerdekakan pewaris jika status pewaris sebelumnya adalah sebagai budak dia.

Sepuluh Asabah yang merupakan kerabat laki-laki tersebut adalah : 
1. Anak lelaki     2. Cucu lelaki dari anak lelaki dan seterusnya kebawah
3. Saudara lelaki sekandung 4. Saudara lelaki seayah
5. Anak lelaki dari saudara lelaki sekandung     6. Anak lelaki dari saudara lelaki seayah
7. Bapa saudara sekandung    8. Bapa saudara seayah
9. Anak lelaki dari bapa saudara sekandung   10. Anak lelaki dari bapa saudara seayah

Sedangkan 2 orang diluar kerabat adalah :
1.  Lelaki yang memerdekakan budak.
2.  Perempuan yang memerdekakan budak.

Dari semua Asabah diatas, ada satu Asabah yang paling kuat, yaitu anak lelaki. Walaupun ada banyaknya Ashabul Furudh yang merupakan ahli waris, akan tetapi anak lelaki ini pasti mendapatkan bahagian warisan, karena ia dapat menghalangi (hijab) sejumlah Ashabul Furudh dan Asabah lainnya dari mendapatkan bahagian warisan. Hal Hijab dan Mahjub ini akan dinyatakan dalam bab berikutnya.

Kelompok Ashabul Furudh atau Asabah - yaitu kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu boleh menjadi Ashabul Furudh atau boleh juga menjadi Asabah, hal itu bergantung dengan kondisi yang menjadi syarat utamanya. Mereka adalah :

1.  Anak perempuan  2.  Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya kebawah 3.  Saudara perempuan sekandung  4.  Saudara perempuan seayah

Mereka akan digolongkan kedalam kelompok Ashabul Furudh, selagi mana tidak ada saudara lelaki mereka. Namun, jika ada saudara lelaki mereka, walaupun hanya berjumlah satu orang, maka mereka digolongkan ke dalam kelompok Asabah.

Kelompok Ashabul Furudh dan Asabah - yaitu kelompok ahli waris yang pada kondisi tertentu boleh menjadi Ashabul Furudh, boleh juga menjadi Asabah, dan boleh juga sebagai gabungan dari keduanya, yaitu sebagai Ashabul Furudh dan Asabah secara sekaligus dalam masa yang sama, hal itu bergantung dengan kondisi yang menjadi syarat utamanya. Mereka adalah :
1. Ayah
2. Datuk (bapa kepada ayah)

Hal ini boleh terjadi apabila semua ahli waris dari kelompok Ashabul Furudh yang ada sudah menerima bahagiannya, namun masih ada lagi harta pusaka yang berbaki, sedangkan tiada lagi Asabah yang lain, maka bakinya diberikan kepada kelompok ini.

Definisi Harta Pusaka
Harta pusaka bermaksud “apa-apa jua hakmilikan yang ditinggalkan oleh Pewaris (Simati)”. Termasuk juga hasil usaha semasa dia hidup tetapi mendapat hakmilikan setelah dia mati. Harta yang dimiliki oleh orang yang masih hidup tidak dinamakan ia harta pusaka. Dalam amalan semasa, harta pusaka terbahagi kepada 3 bentuk yaitu :

a. Harta Mudah Alih - bermaksud harta yang boleh dicairkan atau tidak tetap seperti wang tunai, pegangan saham, kenderaan, barangan keperluan hidup, barang kemas, dan lain-lain.
b. Harta Tak Alih - bermaksud harta tetap seperti pemilikan harta tanah.
c. Adalah disepakati oleh para fuqaha bahawa harta pusaka itu termasuk juga hutang piutang, gadai janji atau akad janji yang ditinggalkan oleh simati. Ini selaras dengn perintah Allah Swt. dan RasulNya supaya semua hutang Pewaris/Simati diselesaikan terlebih dahulu sebelum pembahagian faraid dibuat kepada waris-warisnya.

Dalam kes pemilikan perkongsian, harta pusaka Pewaris adalah kuantiti atau nilai yang dimiliki oleh Pewaris itu.   

Rukun-Rukun Perwarisan
Rukun-rukun waris ada tiga, yang mana jika salah satu dari rukun perwarisan ini tidak ada, maka tidak akan terjadi pembahagian warisan itu. Ia adalah :

1. Adanya Pewaris - yaitu orang yang meninggal dunia (Simati) yang meninggalkan sejumlah harta dan peninggalan lainnya yang dapat diwariskan.

2. Adanya Ahli Waris - yaitu seseorang atau sekelompok orang yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan Pewaris kerana adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau sebab-sebab lainnya.

3. Adanya Harta Pusaka -  yaitu harta peninggalan hakmilik Pewaris yang ditinggalkan ketika ia wafat. Harta warisan ini dapat berbagai macam bentuk dan jenisnya, seperti wang tunai, emas, perak, kenderaan bermotor, polisi insurans, komputer, peralatan elektronik, binatang ternak (seperti ayam, kambing, kuda, keldai, lembu, kerbau, dan lain-lain), rumah, tanah, sawah, kebun, kedai, perusahaan, dan segala sesuatu yang merupakan milik Pewaris yang di dalamnya ada nilai hartanya. Hutang piutang, gadai janji atau ikat janji Pewaris juga dikira sebagai harta pusaka.

Tidak boleh berlaku satu keadaan di mana, perwarisan mahu dibuat sedangkan salah satu, dua atau semuanya rukun ini telah tidak dipatuhi. Dalam kata lain, sekiranya Pewaris/Simati tiada meninggalkan harta milikan, proses faraid itu tidak akan berlaku sama sekali.

Akhiirul Kalaam
Demikianlah kuliah dan penerangan ringkas setakat ini. Amat sedikit sebenarnya perbincangan ini berbanding ilmu Allah Swt, yang Maha Luas. bersambung.

Yang benar itu datang dari Allah Swt. dan Rasul-Nya, semua yang tidak benar itu datang dari saya yang amat dhoif ini.

Wallahua’lam.

سكين
والسلام

eddzahir@38
Tanah Liat, Bukit Mertajam

0 ulasan: